Selasa, 13 Mei 2008

LIBERALISME PEMBANGUNAN EKONOMI

I. Pendahuluan

1.1. Apa itu Liberalisme

liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.

Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Prancis berupa sistem merkantilisme, feodalisme, dan gereja roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman renaissance dan juga dari golongan Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja. Mereka menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk agama kuno dan berpaderi.

Liberalisme antistatis, seperti yang diperjuangkan oleh Frederic Bastiat, Gustave de Molinari, Herbert Spencer, dan Auberon Herbert, adalah aliran ekstrem yang dikenal dengan anarkhisme (tidak ada pemerintahan) ataupun minarkisme (pemerintahan yang kecil yang hanya berfungsi sebagai the nightwatchman state. Liberalisme selalu menentang sistem kenegaraan yang didasarkan pada hukum agama. Oxford English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal telah lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna sesuai untuk orang bebas, besar, murah hati dalam seni liberal.

Pada awalnya, liberalisme bermaksud bebas dari batasan bersuara atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas, dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu. Bagaimanapun, bermula pada 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai diberi maksud yang baik, yaitu bebas dari prasangka dan bersifat toleran. Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah.

Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik dan juga kemudian berkembang di bidang ekonomi.

Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati.Liberalisme budaya secara umum menentang keras campur tangan pemerintah. Belanda, dari segi liberalisme budaya, mungkin negara yang paling liberal di dunia. Sedangkan liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi dan menentang peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi hak-hak terhadap harta pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui pasar bebas.

Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.

Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan Oxford Manifesto dari Liberal International: "Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas.

1.2. Apa itu Liberalisme Ekonomi

Usaha masing-masing orang untuk memperjuangkan kemajuan dan kepentingan dirinya sendiri akan dengan sendirinya menghasilkan kesejahteraan dan kemajuan bagi seluruh masyarakat. Demikianlah inti paham Adam Smith tentang the invisible hand, “tangan tak kelihatan” yang – sesuai paham “keselarasan yang ditetapkan sebelumnya” (oleh Tuhan, lih. Leibniz) – akan mengarahkan usaha-usaha individual pada kemajuan dan kepentingan bersama.

Liberalisme ekonomis merupakan ajaran yang melahirkan kapitalisme. Ajaran ini meniupkan semboyan “laissez faire, laissez aller”, yang membiarkan pasar berjalan sendiri. Liberalisme menuntut orang agar bebas berdagang (menentang bea cukai), memilih tempat berproduksi dan bekerja, juga bebas mengadakan perjanjian kerja dan ekonomis lainnya. Negara diharapkan sedikit mungkin mengintervensi permainan bebas tawaran dan permintaaan baik di pasar komoditi maupun di pasar kerja.

Laissez-faire [lɛse fɛr]) adalah sebuah frase bahasa Perancis yang berarti "biarkan terjadi" (secara harafiah "biarkan berbuat"). Istilah ini berasal dari diksi Perancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat di abad ke 18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan. Laissez-faire menjadi sinonim untuk ekonomi pasar bebas yang ketat selama awal dan pertengahan abad ke-19. Secara umum, istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Pendukung doktrin ini berpendapat bahwa suatu perekonomian perusahaan swasta (private-enterprise economy) akan mencapai tingkat efesiensi yang lebih tinggi dalam pengalokasian dan penggunaan sumber-sumber ekonomi yang langka dan akan mencapai pertumpuhan ekonomi yang lebih besar bila dibandingkan dengan perekonomian yang terencana secara terpusat (centrally planned economy). Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan pribadi atas sumber daya dan kebebasan penuh untuk menggunakan sumber daya tersebut akan menciptakan dorongan kuat untuk mengambil risiko dan bekerja keras. Sebaliknya, birokrasi pemerintah cenderung mematikan inisiatif dan menekan perusahaan.

Dalam pandangan laissez-faire, kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, melainkan bersandar pada sumbangan dan sistem pasar. Laissez faire juga menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh memberi hak khusus dalam bisnis. Misalnya, penganut dari laissez-faire mendukung ide yang menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat monopoli legal atau menggunakan kekuasaan dan paksaan untuk merusak monopoli de facto. Pendukung dari laissez-faire juga mendukung ide perdagangan bebas dalam artian negara tidak boleh melakukan proteksi, seperti tarif dan subsidi, di wilayah ekonominya.

Pada masa awal dari teori ekonomi Eropa dan Amerika, kebijakan laissez-faire terbentuk konflik dengan merkantilisme, yang telah menjadi sistem dominan di Britania raya, Spanyol, Perancis dan negara Eropa lainnya pada masa kejayaannya. Istilah laissez-faire sering digunakan bergantian dengan istilah "pasar bebas". Beberapa menggunakan laissez-faire untuk merujuk pada perilaku "biarkan terjadi, biarkan lewat" dalam hal-hal di luar ilmu ekonomi. Laissez-faire dihubungkan dengan Liberalisme klasik, libertarianisme dan Obyektivisme. Asalnya dikenalkan dalam bahasa Inggris tahun 1774, oleh George Whatley, dalam buku Principles of Trade.

Liberalisme memperjuangkan pembebasan petani dari kekuasaan tuan tanah, mendorong industrialisasi, pembagian kerja, perdagangan bebas antar-negara. Namun ia tidak menolak seluruhnya peran negara – meskipun mengambil alih paham “laissez faire” yang lebih moderat dari kaum Fisiokrat (aliran ekonomi di Perancis abad ke-18 yang menuntut kebebasan ekonomi total, melawan merkantilisme, tetapi atas dasar pengandaian bahwa hanya pekerjaan pertanian dapat menciptakan nilai ekonomis baru). Negara bertugas menciptakan syarat-syarat institusional minimal agar sistem ekonomi pasar dapat berjalan.

Liberalisme ekonomi dengan tegas ditolak oleh Paus Leo XIII karena tidak menjamin keadilan sosial. Penekanan yang terlampau ekslusif terhadap kebebasan inilah yang menghasilkan kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok. Bahkan buruh termasuk dalam kalkulasi ekonomis, sehingga dijadikan komoditi dalam bentuk lain. Masalah-masalah struktural: keadilan sosial, pembangunan infrastruktur nasional dan internasional, dan, sejak paruh kedua abad ini, pemeliharaan keutuhan lingkungan hidup semakin tidak mampu ditanganinya. Kebebasan mengadakan perjanjian memungkinkan munculnya monopoli, kartel, trust dan bentuk-bentuk penyelewengan lain terhadap prinsip kebebasan ekonomis.

Liberalisme ekonomi sekarang merubah wajahnya dalam bentuk “neoliberalisme” atau, menurut cara bicara di Amaerika Serikat, lebih dikenal sebagai Neo-Konservatisme (“Neokon”). Sebagai tuntutan moral bagi kehidupan bersama yang beradab, liberalisme ekonomi mengabaikan solidaritas masyarakat, yang di tengah-tengahnya terdapat banyak warga miskin.Di satu pihak liberalisme berjasa mengakhiri ekonomi feodal dan tradisional yang tidak sesuai lagi dengan kondisi-kondisi masyarakat yang penuh ketidakadilan. Ia menghasilkan dinamika ekonomi modern yang memungkinkan pengatasan masalah kemiskinan dan mendasarkan tingkat hidup masyarakat modern.

Maka liberalisme ekonomi, berbeda dengan liberalisme politik, tidak seluruhnya berhasil memperoleh akseptasi dalam faham kenegaraan dan kemasyarakatan modern. Jelaslah bahwa negara harus menjalankan tugas-tugas penataan yang tidak diharapkan oleh liberalisme.

Ekonomi liberal adalah teori ekonomi yang diuraikan oleh tokoh-tokoh penemu liberal klasik seperti Adam Smith atau French Physiocrats Sistem ekonomi liberal tersebut mempunyai kaitannya dengan "kebebasan alami" yang dipahami oleh tokoh-tokoh ekonomi liberal klasik tersebut. Konsep dari ekonomi liberal ialah bergerak kearah suatu sistem ekonomi pasar bebas dan sistem berpaham perdagangan bebas.

Sistem ekonomi liberal klasik adalah suatu filosofi ekonomi dan politis. Mula-mula ditemukan pada suatu tradisi penerangan atau keringanan yang bersifat membatasi batas-batas dari kekuasaan dan tenaga politis, yang menggambarkan pendukungan kebebasan individu.Teori itu juga bersifat membebaskan individu untuk bertindak sesuka hati sesuai kepentingan dirinya sendiri dan membiarkan semua individu untuk melakukan pekerjaan tanpa pembatasan yang nantinya dituntut untuk menghasilkan suatu hasil yang terbaik, yang cateris paribus, atau dengan kata lain, menyajikan suatu benda dengan batas minimum dapat diminati dan disukai oleh masyarakat (konsumen).

Garis berpaham ekonomi liberal telah pernah dipraktikan oleh sekolah-sekolah di Austria dengan berupa demokrasi di masyarakat yang terbuka. Paham liberalisme kebanyakan digunakan oleh negara-negara di benua Eropa dan Amerika. Seperti halnya di Amerika Serikat, paham liberal dikenali dengan sebutan mild leftism estabilished.

Dalam bidang ekonomi liberalisme merupakan reaksi terhadap struktur-struktur sosial dan ekonomi tradisional. Paham ini mendasarkan diri pada etika utilitaristik: kesejahteraan masyarakat diyakini sebagai hasil penjumlahan kesejahteraan masing-masing individu.

1.2.1. Ciri ekonomi liberal

  • Semua sumber produksi adalah milik masyarakat individu.
  • Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi.
  • Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi.
  • Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
  • Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan.
  • Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.
  • Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonomi.
  • Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.

1.2.2. Keuntungan dan kelemahan dari ekonomi liberal

Keuntungan

Ada beberapa keuntungan dari suatu sistem ekonomi liberal, yaitu:

  • Menumbuhkan inisiatif dan kreasi masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah/komando dari pemerintah.
  • Setiap individu bebas memiliki untuk sumber-sumber daya produksi, yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
  • Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
  • Menghasilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat antar masyarakat.
  • Efisiensi dan efektivitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan.

Kelemahan

Selain ada keuntungan, ada juga beberapa kelemahan daripada sistem ekonomi liberal, adalah:

  • Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat.
  • Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
  • Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
  • Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi sumber daya oleh individu.
  • Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas tersebut.

Negara-negara yang menganut paham liberal di Asia antara lain adalah India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Thailand dan Turki. Saat ini banyak negara-negara di Asia yang mulai berpaham liberal, antara lain adalah Myanmar, Kamboja, Hong Kong, Malaysia dan Singapura.

1.3. Liberalisme di Indonesia

Di bawah rejim kolonial, ekonomi daerah Indonesia dikuasai oleh perusahaan- perusahaan besar Belanda. Kegiatan ekonomi yang besar terdapat di sektor perkebunan yang dikelola oleh sejumlah onderneming. Bidang perdagangan dilaksanakan oleh lima perusahaan besar. Kegiatan-kegiatan itu semata-mata ditujukan untuk ekspor. Keuntungan dari kegiatan ini merupakan akumulasi modal bagi Kerajaan Belanda, sementara rakyat daerah Indonesia terus menerus diperas tenaganya. Sistim ekonomi kolonial yang penuh penghisapan ini terlanjur dilihat sebagai sistim ekonomi liberal. Maka liberalisme menjadi kata yang kotor dalam perbendaharaan Indonesia. Apa-apa yang berbau liberal secara naluriah segera hendak dicampakkan.

Sindrom kolonial ini barangkali memang begitu kuat sehingga selama 50-an tahun setelah merdeka liberalisasi ekonomi hanya bisa terlaksana secara setengah hati. Perumusan kebijakan di Indonesia, dan di banyak negara berkembang lain, sampai hari ini masih terus dihadapkan pada pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban yang tegas: “ Apakah ada alternatif terhadap sistim ekonomi liberal?” Berbagai jawaban bisa dicatat. Misalnya: “Barangkali tidak ada, tetapi sistim itu tidak tepat untuk dipakai.” Atau: “Tentu harus ada alternatifnya, tetapi masih harus ditemukan.” Maka upaya menangani persoalan ekonomi menjadi penuh ambivalensi, sarat ilusi dan umumnya gagal menciptakan kelembagaan ekonomi.

Yang diartikan dengan kelembagaan ekonomi adalah norma, prinsip dan aturan serta lembaga-lembaga yang menetapkan rambu-rambu dan menjaga agar rambu-rambu itu tidak dilanggar. Kegagalan membangun kelembagaan ekonomi menyebabkan ekonomi dikelola oleh kemauan orang, yang menggunakan wewenang karena mempunyai kekuatan politik, karena memegang senjata, atau karena menduduki jabatan birokrasi yang strategis. Maka pengelolaan ekonomi terutama ditujukan untuk kepentingan orang bersangkutan atau kelompoknya dan bukan untuk kepentingan masyarakat. Alhasil, justru suatu sistim penghisapan yang terbentuk, dan lebih buruk lagi sebab penghisapan itu dilakukan oleh sesama bangsa sendiri.

Bila ambivalensi dan ilusi itu dapat dihilangkan, dan suatu sistim ekonomi liberal diadopsi sepenuh hati, akan segera tampak rambu-rambu apa yang perlu ditetapkan dan lembaga-lembaga ekonomi apa harus dibangun untuk menjadi agar rambu-rambu yang ada tidak dilanggar sambil terus-menerus memperbarui rambu-rambu itu. Sebab kehidupan ekonomi penuh dengan dinamika, baik karena teknologi dan inovasi, mau pun karena proses integrasi ekonomi secara regional dan global. Oleh sebab itu, kebijakan persaingan barangkali memang merupakan bagian integral dari proses liberalisasi dan globalisasi. Selain itu, suatu sistim pengaman sosial bisa diciptakan untuk mengatasi dampak negatif dari perubahan ekonomi dan siklus bisnis.

Liberalisme ekonomi berarti jaminan adanya kebebasan bagi semua insan ekonomi untuk menentukan sendiri apa yang akan dikonsumsi, apa yang akan diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk memperdagangkannya. Sistim ini tidak membenarkan bahwa seorang petani diharuskan menanam suatu komoditi pertanian tertentu dan diharuskan pula untuk menjualnya kepada orang atau lembaga tertentu. Liberalisme bukan tanpa aturan. Bahkan aturan dan pengaturan merupakan keharusan yang disepakati bersama. Tanpa aturan dan pengaturan kebebasan seseorang bisa mengurangi kebebasan orang lain, dan ini bertentangan dengan jiwa dari liberalisme ekonomi.

Seperti halnya dengan kehamilan, liberalisme ekonomi tidak bisa setengah-setengah. Liberalisasi ekonomi membebaskan insan ekonomi dari cengkeraman yang berkuasa. Liberalisasi ekonomi juga tidak bisa dilaksanakan setengah hati. Bagi ekonomi Indonesia, yang berangkat dari keadaan yang sangat statis di waktu lalu, proses liberalisasi tidak bisa dirampungkan dalam semalam. Barangkali memang dibutuhkan suatu pentahapan (sequencing). Analisa kebijakan ekonomi menganjurkan suatu urut-urutan liberalisasi atas pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ekonomi politik menyatakan bahwa urut-urutan itu mensyaratkan pula suatu political conditioning agar liberalisasi itu mungkin dilakukan (feasible). Jadi, desirability dan feasibility harus bergandengan tangan. Hanya dengan modal ini liberalisasi bisa dilaksanakan dengan sepenuh hati.

Liberalisasi sepenuh hati mungkin hanya merupakan angan-angan. Analisa Andrew Rosser (2002) menyangsikan bahwa persyaratan politik dan sosial bagi liberalisasi sudah terpenuhi di Indonesia. Liberalisasi mungkin memang akan terjadi terutama karena tekanan-tekanan keadaan, terlepas dari kenyataan apakah masyarakat telah siap menerimanya atau tidak. Itu lah mungkin inti cerita liberalisasi ekonomi di Indonesia. Deregulasi ekonomi yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an dipaksanakan oleh keadaan. Berbagai koreksi kebijakan sebelumnya telah diambil untuk mengatasi kemerosotan dalam daya saing non-migas sebagai akibat dari Dutch disease karena lonjakan harga minyak. Mata uang didevaluasi secara tajam pada tahun 1978, 1983 dan 1986. Tetapi dengan tiga devaluasi itu terlihat bahwa upaya tersebut jauh dari memadai. Yang diperlukan adalah suatu perubahan struktural, dan untuk itu diperlukan liberalisasi. Karena kata liberalisasi dianggap kotor, maka digunakan deregulasi yang saat itu lebih bisa diterima (Sadli, 2002). Tantangan jaman, tantangan dari luar, khususnya globalisasi merupakan dorongan kuat bagi Indonesia untuk terus melaksanakan liberalisasi.

II. Liberalisme Pembangunan Ekonomi di Indonesia

2.1. Sebelum Reformasi

Masa sebelum Reformasi marupakan suatu masa dimana bangsa Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden yang Otoriter dan bertangan besi, dimana bangsa ini dipimpinnya selama kurang lebih 32 tahun lamanya. Pada masa sebelum reformasi atau masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan pemerintahan orde barunya, pembangunan dilakukan disegala lini dengan fokus utama pada pembangunan sarana dan prasarana pembangunan yang bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Akan tetapi, pembangunan yang begitu gencarnya tidak didukung oleh sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang memadai, yang berdampak pada adanya kesenjangan pembangunan antara provinsi, daerah, kota maupun dengan daerah pedesaan dan pelosok, dan ini timbul sebagai akibat dari sentralisasi pembangunan yang tidak mengena sampai ke pelosok negeri ini.

Pembangunan yang dilakukan pada masa sebelum reformasi sangat rentan terhadap KKN dan dibarengi dengan tidak adanya kebebasan masyarakat atau lembaga lainnya untuk menyuarakan kemaunan atau ketidak setujuan atau protes dan ketidak puasan mereka terhadap pemerintah. Tidak adanya kebebasan dan iklim infestasi yang sehat mengakibatkan kurangnya pemerataan pembangunan, sebagai akibat dari KKN yang memberi peluang yang sangat besar kepada keluarga, kerabat dan kroni-kroni dari pemerintah yang berkuasa pada saat itu untuk bisa menguasai dan melakukan monopoli atas semua aktivitas dan proyek yang bersangkutan dengan infestasi dan pembangunan Indonesia pada masa itu. Hal ini kemudian mendorong adanya konglomerasi-konglomerasi yang timbul dan berasar dari orang-orang atau kalangan terdekat tadi.

Kongglomerasi, monopoli dan penguasaan infestasi pembangunan merupakan hal yang sangat bertentangan dengan semangat liberalisme pembangunan ekonomi yang menuntut adanya kebebasan dan mengurangi campurtangan pemerintah, dan memberi kebebasan bagi masyarakat untuk bisa mengelola aset atau kemampuan yang dimilikinya untuk dapat berkembang dan berusaha dalam dunia atau iklim bisnis yang sehat. Dengan demikian maka tentunya daerah daerah pada masa sebelum reformasi akan susah untuk berkembang terutama daerah-daerah diluar pulau Jawa yang letaknya jauh dari Jakarta. Dengan adanya kongglomerasi dan monopoli atas infestasi dan pembangunan tersebut, maka pemerintah atau pengusaha daerah yang berada didaerah akan sulit untuk mengembangkan dirinya untuk bisa mengembangkan usahanya atau membangu daerahnya untuk paling tidak bisa menyamai pembangunan di daerah Pulau Jawa. Dengan demikian juga dapat kita lihat pada masa itu betul-betul pemimpin dan pemerintahan berjalan dengan otoriter dan kebijakan-kebijakan pembangunannya tidak mengena sampai ke pelosok Indonesia tetapi kebijakan-pembangunan tersebut hanya dinikmati oleh daerah tertentu dan individu-individu tertentu.

Memang harus kita akui bahwa Indonesia sempat menjadi atau dijuluki macan Asia yang sangat di segani dikawasan asia tenggara pada tahun 1996-1997, dimana pada saat itu Indonesia merupakan salah satu negara tujuan investasi dunia yang cukup menjanjikan. Akan tetapi berjalan dengan bergulirnya waktu, dibarengi dengan krisis yang melanda Dunia dan juga Asia, termasuk Indonesia didalamnya, maka hancurlah perekonomian Indonesia dan sangat terpuruh sehingga mengakibatkan banyaknya infestor baik dalam maupun luar negeri yang lari ke luar negeri meninggalkan Indonesia. Dasar ekonomi yang lemah dan tidak kuat sebagai dampak dari kongglomerasi dan pembangunan yang tidak merata mengakibatkan runtuhnya kongglomerasi tersebut dan menimbulkan banyaknya penutupan operasi perusahaan-perusahaan kongglomerasi tersebut dan mengakibatkan timbulnya banyak pengangguran yang terus meningkat. Kondisi krisis ini mendorong dan memangsa masyarakat dan tokoh-tokoh reformis untuk meneriakan reformasi dan pembaharuan disemua aspek, dan seperti yang kita ketahui, dengan adanya keberanian untuk meneriakkan reformasi dan pembaharuan itu maka runtuhlah pemerintahan yang berkuasa pada saat itu, dan menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenannya.

2.2. Masa Sesudah Reformasi

Pada masa sesudah reformasi, pemerintahan mulai ditata dan dijalankan sesuai dengan arah dan semangat reformasi, yang menginginkan adanya perubahan dan pembaharuan disegala bidang dan aspek kehidupan.

Pada awalnya dibentuk Kabinet Reformasi Pembangunan yang menjalankan tugasnya pada saat negara sedang dilanda krisis ekonomi, sosial, dan politik. Sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi dampak krisis tersebut, telah dilakukan serangkaian upaya dan langkah yang pada saat bersamaan juga merupakan upaya untuk mewujudkan demokrasi ekonomi. Hal yang mendasar dalam kaitan ini adalah upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi harus dihindarkan terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan.

Pemusatan kekuatan ekonomi atau penguasaan aset nasional pada sekelompok anggota masyarakat tertentu dalam bentuk monopoli dan oligopoli telah menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi. Ketimpangan struktur penguasaan aset ekonomi produktif akhirnya mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, budaya, politik maupun aspek kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu bersama­-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah disusun UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang yang akan berlaku efektif mulai 5 Maret 2000 tersebut pada pokoknya bertujuan untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah dan kecil. Untuk mendukung pelaksanaan UU tersebut, pemerintah membentuk komisi pengawas persaingan usaha, menyusun petunjuk dan peraturan pelaksanaan serta akan menyelenggarakan sosialisasi UU. Dalam rangka pengembangan perekonomian yang kompetitif dan efisien dilakukan berbagai penghapusan bentuk restriksi perdagangan antara lain penghapusan berbagai bentuk tata niaga dan hambatan impor bagi barang-barang yang dipergunakan untuk kegiatan produksi terutama yang bertujuan ekspor. Untuk itu, beberapa peraturan perundangan yang menghambat efisiensi perekonomian telah dicabut ataupun disempurnakan, antara lain: Keppres No. 42 tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional; Keppres No. 20 tahun 1992 tentang Tata Niaga Cengkeh hasil Produksi Dalam Negeri; dan Keppres No. 50 tahun 1995 tentang Badan Urusan Logistik.

Dalam kaitan dengan kekuatan dan peran pelaku ekonomi, demokrasi ekonomi akan tercermin pada struktur ekonomi nasional yang lebih seimbang antara usaha dengan berbagai skala. Dalam hal ini diupayakan agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuknya keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha kecil, menengah dan koperasi, usaha besar swasta dan Badan Usaha Milik Negara. Usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) diberi prioritas dan dibantu dalam mengembangkan usaha serta segala kepentingan ekonominya agar dapat mandiri, terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan akses kepada sumber dana.

Dalam upaya mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional, diperlukan penanaman modal asing yang sekaligus diharapkan dapat menjalin keterkaitan usaha dengan pelaku ekonomi rakyat. Dalam kaitan ini, untuk mengembalikan kepercayaan dunia usaha ditempuh kebijakan antara lain: penghapusan kewajiban memiliki surat persetujuan prinsip dalam pelaksanaan realisasi dan rekomendasi dalam permohonan persetujuan penanaman modal; pelimpahan kewenangan kepada daerah dalam hal penilaian dokumen AMDAL. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada investor, titik pelayanan perijinan diperbanyak dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada BKPMD dan perwakilan RI di luar negeri. Bagi penanam modal dalam rangka PMDN dapat mengajukan aplikasi dan memperoleh persetujuan investasi dari BKPMD atau BKPM tanpa adanya batasan nilai investasi. Demikian juga dalam rangka PMA, aplikasi dapat diajukan dan mendapatkan persetujuan investasi di Perwakilan RI di luar negeri atau BKPMD atau BKPM. Dengan demikian untuk menarik PMA ke Indonesia peran Perwakilan Indonesia di luar negeri ditingkatkan tidak hanya di bidang promosi namun juga mencakup pelayanan penerimaan aplikasi dan pemberian persetujuan PMA. Pihak investor diberikan kebebasan untuk memilih unit pelayanan sesuai dengan kebutuhannya. Pedoman dalam tatacara penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN juga disempurnakan. Penanaman modal juga diberi kelonggaran perpanjangan waktu penyelesaian proyek yang terhambat akibat adanya krisis ekonomi.

Di bidang ketenagakerjaan, upaya perlindungan hak-hak pekerja khususnya mengenai kebebasan berserikat dan berorganisasi dilakukan melalui reformasi peraturan perundang-undangan, termasuk meratifikasi ketentuan atau konvensi ILO. Pemerintah telah meratifikasi empat kelompok konvensi ILO yaitu: konvensi tentang kebebasan berserikat, konvensi tentang larangan kerja paksa, konvensi tentang larangan diskriminasi, dan konvensi tentang pekerja anak. Selain itu, dalam upaya memberikan iklim kerja yang lebih baik bagi seluruh masyarakat, juga diperbaiki Undang-undang ketenagakerjaan, dengan diterbitkannya UU No. 25/1997 pada waktu itu.

Sejalan dengan semangat reformasi, pada tahun 2001, pemerintah mengeluarkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang mana memberi kebebasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengembangkan dirinya dan membuat kebijakan serta melaksanakan pembangunan didaerahnya masing-masing. Dengan adanya desentralisasi atau otonomisasi daerah ini, maka daerah bisa lebih bebas dan leluasa melakukan pembangunan berdasarkan potensi yang dimilikinya dan tentunya hal ini lebih terarah dan lebih mengena dan bermanfaat bagi daerah-daerah tersebut, selain untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah-daerah yang sudah maju, juga untuk dapat membuktikan dan menyatakan eksistensi dan jati diri daerah masing-masing untuk nantinya bisa bersaing dengan sehat dan sama-sama membangun Indonesia tercinta.

Dengan adanya otonomisasi, maka daerah-daerah sudah mulai sedikit demi sedikit membangun daerahnya dan bangkit dari ketertinggalan dan keterpurukan pembangunan dan ekonomi. Sejalan dengan ini, bangsa Indonesia sedikit demi sedikit juga mulai terlebas dari belenggu krisis multi dimensi termasuk krisis ekonomi, maka bangsa Indonesia mulai menjalankan dan menegakkan demokrasi dengan memberikan kebebasan bagi masyarakatnya untuk dapat memilih sendiri anggota DPR/MPR dan juga Presiden secara langsung dengan diadakannya PEMILU yang sangat bebas dan demokratis. Dengan terpilihnya anggota DPR/MPR dan Presiden yang demokratis, maka demokratisasi yang juga melambangkan liberalisme dalam menentukan sikap dan pilihan sudah terjadi dan diharapkan bisa terus dipertahankan dan bahwa diusahakan lebih demokratis lagi.

Dengan adanya pemerintahan yang demokratis, maka tentunya tida ada satu pihak atau kalangan tertentu yang berkuasa atau memerintah serta membuat peraturan sesuai kemaunnya sendiri. Pemerintahan yang demokratis memberikan kesempatan dan kebebasan untuk mayarakat dan kalangan dunia usaha untuk dapat mengembangan dirinya dan usahanya kearah atau sesuai dengan bidangnya masing-masing, tetapi tentunya harus mematuhi hukum danperuntdangan yang berlaku. Dengan adanya demokratisasi ini, maka sangat membuka peluang untuk terciptanya iklim bisnis dan usaha yang kondusif yang bisa menjadi peluang kita untuk meningkatkan perekonomian bangsa ini.

Dengan adanya peningkatan derajat ekonomi dan pembangunan, maka akan membuka peluang bagi peningkatan permintaan demokrasi yang besar dari masyarakat, dengan harapan pemerintahan yang lebih demokratis akan lebih dapat meningkatkan pembangunan ekonomi menuju suatu kondisi ekonomi dan pembangunan yang lebih baik lagi.

III. Liberalisme Ekonomi, Perdagangan dan Globalisasi.

3.1. Liberalisasi Ekonomi dan Perdagangan

Kebijakan Persaingan (competition policy) kini sudah menjadi agenda internasional. Terdapat desakan kuat agar aturan main yang diterapkan dalam berbagai ekonomi menjamin terjadinya persaingan yang sehat, yaitu terjadinya level playing field, di mana aturan yang sama dikenakan pada semua pemain. Desakan serupa ini timbul karena proses globalisasi. Bahkan dengan semakin maraknya international mergers and acquisition (M&A) lahir usulan untuk merumuskan dan menerapkan suatu international competition policy, sebab dikhawatirkan bahwa kebijakan nasional di bidang persaingan tidak dapat mengatasi persoalan oligopoli di pasar internasional yang diakibatkan oleh proses M&A itu.

Merumuskan dan menerapkan kebijakan persaingan bukan sesuatu yang mudah. Indonesia merupakan salah satu dari sejumlah kecil negara berkembang yang menerapkan kebijakan persaingan. Penerapan ini merupakan bagian dari program reformasi ekonomi yang digariskan dalam program pemulihan ekonomi yang didukung oleh IMF.

Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia mempunyai kebijakan persaingan sudah lewat. Barangkali persoalannya terletak pada penyempurnaannya dan kemampuan untuk melaksanakannya (enforcement). Namun yang menarik untuk diketahui adalah bahwa ketika persoalan kebijakan persaingan ini mulai dibicarakan di Indonesia ada pendapat bahwa barangkali jalan yang lebih mudah untuk menciptakan iklim persaingan di dalam negeri adalah dengan membuka (meliberalisasi) pasar. Sebab sebagian terbesar masalah persaingan terjadi karena sejumlah industri (atau perusahaan) memperoleh perlakuan khusus, dan umumnya perlakuan khusus ini berbentuk proteksi terhadap persaingan impor atau membatasi entry ke dalam industri yang bersangkutan. Maka langkah pertama yang perlu diambil oleh Indonesia adalah melanjutkan liberalisasi perdagangan dan investasi. Bila upaya ini dilakukan secara konsisten maka penerapan kebijakan persaingan bisa dilaksanakan di kemudian hari.

Selain itu, kebijakan liberalisasi perdagangan (dan investasi) juga dilihat sebagai cara untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Peningkatan daya saing suatu ekonomi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Ada pemikiran yang mengatakan bahwa sebenarnya peningkatan daya saing terutama merupakan tantangan bagi masing-masing perusahaan dan upaya yang dilakukan haruslah pada tingkat perusahaan. Kerjasama internasional, misalnya dengan membentuk suatu aliansi strategis (strategic alliance), merupakan salah satu cara yang kini banyak dilakukan, terutama antara perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju. Tetapi berbagai bentuk kerjasama internasional juga dilakukan pada tingkat negara (ekonomi) untuk meningkatkan daya saing, artinya meningkatkan kemampuan penetrasi pasar. Pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade area -- FTA) seringkali dilihat sebagai upaya untuk saling meningkatkan akses pasar di antara pesertanya. Kini terdapat kecenderungan pembentukan kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral, tetapi kesepakatan serupa ini sebenarnya tidak meningkatkan daya saing melainkan mendapatkan perlakuan khusus dalam akses pasar. Perlakuan khusus ini jelas-jelas merugikan negara lain karena menimbulkan apa yang disebut sebagai trade diversion. Perlu kiranya dicatat pula bahwa dalam banyak kesepakatan (FTA) bilateral atau regional terdapat klausul mengenai persaingan dan kebijakan persaingan.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa bagi negara berkembang, kunci utama untuk melakukan penetrasi pasar adalah daya saing harga. Hal ini merupakan kenyataan yang sulit dibantah, dan mungkin telah menjadi suatu “kebenaran”. Maka upaya nasional maupun internasional untuk meningkatkan daya saing, sesedikitnya pada tahap permulaan hingga kehadiran di suatu pasar menjadi cukup mapan, adalah dengan mempertajam daya saing harga produk. Negara-negara ASEAN bersepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas, AFTA (ASEAN Free Trade Area), dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia. Langkah ini merupakan jawaban kawasan terhadap tantangan globalisasi.

Indonesia sangat terlibat dalam upaya regional ini dan berbagai prakarsa regionalisasi lain, dan barangkali keterlibatan ini dapat membantunya mempertahankan momentum liberalisasi yang seringkali menghadapi tentangan besar di dalam negeri, baik karena mengganggu kepentingan kelompok usaha tertentu maupun karena salah kaprah dalam pemikiran.

3.2. Lberalisasi Ekonomi dan Globalisasi

Globalisasi sendiri adalah sesuatu yang menakutkan. Ada kemungkinan, “globaphobia” itu terutama disebabkan oleh karena globalisasi telah dijadikan kambing hitam. Pejabat pemerintah dan kalangan politisi menggunakan globalisasi sebagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan mereka dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju.

Dalam kurun waktu beberapa tahun ini banyak yang telah terjadi, di dunia, di kawasan Asia, dan di Indonesia sendiri. Pada tingkat global dan regional proses integrasi telah semakin laju. Yang melintasi batas-batas negara bukan hanya arus barang dan jasa, orang, uang dan modal, tetapi juga teknologi, informasi, dan bahkan juga gagasan. Dunia telah menjadi satu. Kesemua jenis arus itu sulit dibendung masuk atau keluar. Kemajuan teknologi bisa mengatasi hambatan-hambatan dalam perdagangan. Dan memang, hambatan-hambatan itu sendiri sudah semakin dikurangi. Semua ekonomi membuka diri, ada yang cepat dan ada yang lebih lambat melakukannya.

Dampak positif dari globalisasi umumnya tidak diberitakan. Sementara itu dampak negatifnya biasanya menjadi berita besar. Para demonstran di Seattle untuk menantang pertemuan WTO bertujuan untuk mewartakan dampak negatif yang besar dari globalisasi terhadap lingkungan, kura-kura, hak azasi manusia, dan pekerja anak.

Dalam globalisasi ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Dengan perkataan lain, ada yang menang dan ada yang kalah. Yang dirugikan dan kalah biasanya berteriak keras. Ada kalanya kekalahan ini dirasakan oleh seluruh industri yang berada di suatu daerah, misalnya industri tenun di Majalengka. Tentu saja dampak ini sangat tampak. Pihak yang diuntungkan dan menang biasanya sangat tersebar, tidak terkonsentrasi, dan seringkali tidak tahu bahwa keuntungan itu diperoleh dari globalisasi.

Bagi dunia dan kawasan Asia, on balance, barangkali keuntungan yang diperoleh dari globalisasi lebih besar daripada kerugian. Bagi kawasan Afrika keadaannya adalah yang sebaliknya. Di Asia pun masih ada kantong-kantong kemiskinan, tetapi secara rata-rata tingkat kesejahteraan masyarakat di Asia telah mengalami peningkatan yang pesat.

Bila demikian, pemanfaatan globalisasi harus diikuti oleh upaya untuk mengatasi dampak negatif dari globalisasi secara sadar dan terarah. Dalam kaitan ini orang berbicara mengenai sustainable globalization, yaitu globalisasi yang berkelanjutan. Artinya, globalisasi dapat terus berlanjut karena didukung oleh semua. Antara lain, hal ini dapat dilakukan dengan merentangkan suatu jaring pengaman. Tetapi di samping tindakan yang bersifat “defensif” itu agenda utama bagi suatu masyarakat untuk mengambil bagian dalam globalisasi adalah upaya untuk terus menerus mengembangkan sumber daya manusianya (SDM). Dalam hubungan ini orang berbicara tentang globalization from below.

Tetapi yang paling pokok adalah perlunya re-orientasi dalam wawasan. Pembangunan nasional atau pembangunan bangsa bukan sesuatu yang bersifat agregatif tetapi pembangunan bagi manusianya. Keamanan (security) bukan lagi hanya masalah negara (state security) tetapi keamanan bagi manusianya (human security).

Globalisasi tidak lah harus dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan. Kita tidak bisa terus menerus hidup dalam ketakutan sebagai globalisasi akan terus berlanjut. Globalisasi merupakan tantangan, yaitu tantangan untuk merubah orientasi. Ini bukan tantangan mudah, tetapi ia seharusnya berada dalam kendali manusia. Kini telah berkembang ekonomi baru (the new economy) tetapi politik yang dilaksanakan tetap saja masih kuno. Itu lah yang harus berubah. Salah satu pencerminan dan manifestasi dari perubahan ini akan terlihat dalam perbaikan penadbiran (governance) yang kini masih sangat buruk.

Globalisasi bukan suatu gejala baru. Dunia telah mengalami berbagai gelombang globalisasi. Di lihat dari segi ini, dunia telah menunjukkan kemampuan untuk mengatasinya. Biarpun demikian, proses globalisasi memang tidak dapat dianggap enteng. Bahkan di negara-negara maju dan masyarakat yang sudah maju kini dicari jalan untuk dapat mengatasi globalisasi baru (new globalism) yang ditandai oleh meningkatnya peran dan pengaruh dari pasar finansial internasional.

Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa di Asia Tenggara yang menjadi ujung tombak globalisasi bukanlah dunia usahanya. Tetapi, pemrakarsa dan promotor globalisasi ekonomi adalah pemerintahnya. Adalah pemerintah di negara-negara ini yang menerapkan kebijakan untuk mengintegrasikan ekonominya ke dalam ekonomu dunia, semula melalui kebijakan pembangunan yang berorientasi ekspor yang didukung oleh kebijakan untuk menarik masuk PMA. Secara bertahap mereka juga membuka pasar dalam negerinya. Ini merupakan cerita lama yang tidak perlu dielaborasi di sini. Yang seringkali dilupakan adalah bahwa kebijakan globalisasi ini dijalankan seiring dengan kebijakan untuk menggalang kerjasama ekonomi regional. Kebijaksanaan ini didasarkan pada kejakinan bahwa setiap negara akan mendapatkan hasil yang lebih baik apabila melakukan integrasi ekonomi ini secara bersama-sama daripada melakukannya secara sendiri-sendiri. Itulah sebabnya regionalisme ekonomi di Asia Tenggara berorientasi ke luar. Oleh karena pola perdagangan negara-negara Asia Tenggara lebih bersifat ekstra-regional dan hanya seperlimanya merupakan perdagangan intra-regional, maka tidak mengherankan mengapa mereka menganut konsep “regionalisme terbuka” atau open regionalism.

Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah melaksanakan globalisasi ekonomi dengan melakukan liberalisasi ekonomi, masing-masing menurut kecepatan yang berbeda dengan memperhitungkan komitmen mereka dalam WTO, APEC atau AFTA. Tentu saja implementasi dari kebijakan ini tidaklah selalu berjalan mulus. Di setiap negara selalu terdapat kelompok kepentingan yang menentang liberalisasi. Di banyak negara kelompok kepentingan yang kuat biasanya adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Ketika crony capitalism dan KKN mulai menyelinap masuk, maka tentangan terhadap liberalisasi itu semakin kuat dan semakin sulit untuk dikalahkan. Suatu negara disebut sebagai effective state bila dapat menahan tekanan-tekanan dari kelompok kepentingan itu. Kerjasama regional menjadi penting artinya bila dapat membantu membendung tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan tersebut. Sementara itu, kelompok yang lemah dan termarginalisasi dalam masyarakat umumnya tidak bisa meneriakkan kepentingan mereka dan tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Sebagai pemrakarsa dan promotor kebijakan globalisasi, pemerintah di kebanyakan negara Asia Tenggara memberikan perhatian pada penyesuaian tahap pertama saja. Penyesuaian tahap pertama ini menyangkut proses dan upaya membuka ekonomi melalui suatu pentahapan (sequencing) dari liberalisasi dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing internasionalnya. Penyesuaian ini melibatkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan daya tarik ekonomi yang bersangkutan sebagai tempat produksi bagi pasar global.

Hingga terjadi krisis finansial di kawasan kita ini umumnya dianggap bahwa negara-negara Asia Tenggara cukup berhasil dalam melaksanakan penyesuaian tahap pertama ini. Tetapi mereka belum dianggap berhasil melakukan penyesuaian tahap kedua, yaitu untuk mengatasi dampak perubahan ekonomi, sosial dan politik dari pembukaan ekonomi, yang juga berpengaruh atas persepsi tentang dan keadaan keamanan pada berbagai tingkatan: individual, kelompok masyarakat, bangsa, dan kawasan yang lebih luas. Namun demikian, kelambatan dan kekurangan dalam melakukan penyesuaian tahap kedua itu kurang diperhatikan berhubung ekonomi mengalami pertumbuhan yang tinggi. Krisis finansial ini telah berguna untuk membuka mata kita mengenai kelemahan dalam kebijakan pembangunan.

Persoalan globalisasi adalah persoalan yang rumit. Tetapi justru oleh karena itu globalisasi harus ditangani. Kita tidak dapat mengambil sikap menentang globalisasi kecuali bila kita mempunyai kekuatan, atau dapat mengembangkan kekuatan, untuk menghentikannya. Ada kemungkinan proses globalisasi dapat diperlambat atau bahkan dihentikan bila sejumlah negara di dunia sepakat untuk melakukannya, yaitu bila dapat dicapai persetujuan untuk membuka ekonomi mereka secara terbatas saja. Pembukaan terbatas ini tidak hanya berlaku untuk arus barang dan jasa serta modal dan keuangan tetapi juga arus manusia, teknologi dan informasi serta gagasan baru.

Kesepakatan internasional untuk membuka ekonomi secara terbatas tampaknya sulit akan dicapai. Ukuran batas-batas tidak dapat dirumuskan dengan jelas dan perundingan untuk itu akan memakan waktu lama. Ada negara-negara yang melihat dan merasakan keuntungan besar dari globalisasi, tetapi bagi sejumlah negara lain globalisasi dinilai sebagai ancaman. Maka masing-masing negara harus menentukan sendiri apa yang akan dilakukan, yaitu bagaimana dan berapa cepat membuka ekonomi secara bertahap dan terencana. Inilah esensi dari penanganan globalisasi yang perlu dirumuskan dalam suatu “strategi globalisasi”.

Pada tahun 1980an yang lalu Indonesia dan negara-negara ASEAN menyikapi perkembangan internasional, khususnya ekonomi internasional, dengan menerapkan suatu strategi globalisasi. Dalam hubungan ini yang pertama-tama dilakukan adalah penyesuaian ekonomi, yaitu dengan menerapkan deregulasi dan liberalisasi, untuk dapat memanfaatkan peluang-peluang yang diberikan oleh pasar dunia. Strategi globalisasi ini adalah strategi untuk melakukan integrasi ke dalam ekonomi dunia. Dalam waktu yang singkat negara-negara ini mengalami peningkatan yang pesat dalam “indeks integrasi” mereka. Indeks integrasi ini mencerminkan besarnya nilai perdagangan internasional terhadap kegiatan ekonomi (PDB atau produk domestik bruto), bagian dari ekspor barang manufaktur dalam keseluruhan ekspor, besarnya penanaman modal asing (PMA) terhadap PDB, dan kemampuan negara tersebut menarik modal dari luar (selain PMA).