WAGE LED GROWTH
Pendahuluan
Kegiatan perekonomian negara telah bergantung pada market yang ada. Demikian pula dengan Indonesia yang tidak dapat lepas dari hal tersebut. Dengan keikutsertaanya dalam AFTA dan WTO, maka mau tidak mau Indonesia harus mampu bersaing dengan negara lain. Perbaikan secara
terus menerus dan peningkatan kemampuannya merupakan kunci untuk tetap dapat bersaing di dunia internasional. Pertumbuhan GDP menjadi salah satu indikator bagi kemajuan perekonomian suatu negara.
Secara makro economi GNP/GDP dapat dihitung dengan beberapa methode dan indikator. Dalam kaitannya dengan produktifitas maka dengan GDP dapat dihitung pula berapa Total Factor Productifity (TFP) dari sebuah negara. TFP menggambarkan sejauh mana Capital dan Labour dapat bersinergi sehingga menghasilkan output yang lebih besar.
Walaupun sebagian ahli ekonomimakro setuju bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi pengangguran dan output, paling tidak dalam jangka pendek cabang baru dari klasik menentang pendekatan standar. Pendekatan ini hamper sama dengan pendekatan klasik dalam menekankan harga dan upah fleksibel, tetapi memasukan cirri baru yang disebut harapan rasional untuk menjelaskan pengamatan seperti Philip curve.
Makroekonomi klasik baru menyatakan bahwa:
- Harga dan upah fleksibel
- Orang menggunakan semua informasi yang tersedia dalam membuat keputusan
Bagian pertama dari pendekatan klasik baru diambil dari asumsi klasik dari harga dan upah fleksibel. Artinya adalah harga dan upah menyesuaikan diri dengan cepat untuk mengimbangi penawaran dan permintaan.
Asumsi baru dan yang kedua diambil dari perkembangan moderen dalam area seperti statistik dan perilaku dalam ketidak pastian. Hipotesis ini menyatakan bahwa orang membentuk harapan mereka berdasarkan informasi yang tersedia. Dibawah asumsi ini pemerintah tidak dapat menipu rakyat, karena rakyat cukup informasi dan mempunya akses pada informasi yang sama dengan pemerintah.
Cara yang baik dalam menyajikan proses inflasi dikembangkan oleh ahli ekonomi A.W. Philips, yang mengukur penentuan inflasi upah. Setelah melakukan studi terhadap data pada pengangguran dan upah di Inggris, Philips menentukan hubungan kebalikan antara pengangguran dan perubahan upah uang. Ia menemukan bahwa upah akan cenderung naik ketika pengangguran rendah dan juga sebaliknya. Pengangguran yang tinggi mengurangi pertumbuhan pada upah uang karena pekerja tidak menekan kenaikan upah saat pilihan akan pekerjaan hanya sedikit, dan lagi perusahaan akan mempertahankan permintaan upah saat keuntungan rendah.
Kurva Philips berguna untuk menganalisa gerakan jangka pendek pengangguran dan inflasi. Gambaran sederhana ditunjukan pada gambar berikut ini. Pada gambar 1 dubawah ini, sumbu horisontal adalah tingkat pengangguran, sumbu vertikal sebelah kiri adalah tingkat inflasi harga tahunan, dan sumbu vertikal sebelah kanan adalah menunjukan inflasi upah uang. Apabila kita bergerak ke kiri pada kurva Philips dengan mengurangi pengangguran, tingkat harga dan upah meningkat sebagai indikasi kurva bertambah tinggi.
∆ P/P ∆ W/W
8 - - 9
7 - - 8
6 - - 7
5 - - 6
4 - - 5
3 - - 4
2 - - 3
1 - - 2
. / / / / / / / / / / 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tingkat Pengangguran (%)
Gambar 1. Kurva Philips Jangka Pendek Menggambarkan Pertukaran antara inflasi dan pengangguran
Bagian penting dari aritmatika inflasi terdapat pada kurva ini. Anggap saja produktivitas tenaga kerja (output per pekerja) naik pada tingkatan tetap 1% tiap tahun. Selanjutnya asumsikan bahwa perusahaan mengatur harga sebagai basis biaya pekerja rata-rata, jadi harga selalu berubah hanya sebesar biaya tenaga kerja rata-rata perunit output. Jika upah naik 4%, dan produktivitas naik 1%, kemudian biaya kerja rata-rata akan naik 3%. Akibatnya harga juga akan naik 3%.
Dengan menggunakan aritmatika inflasi ini, kita dapat melihat hubungan antara peningkatan upah dan harga pada gambar 1. Dua skala ini hanya dibedakan oleh asumsi tingkat pertumbuhan produktivitas (jadi harga yang berubah 4% pertahun akan berhubungan dengan perubahan upah 5% per tahun jika produktivitas tumbuh 1% pertahun dan jika harga selalu naik secapat biaya rata-rata tenaga kerja)
Hubungan antara harga, upah dan produktivitas dapat diformulasikan sebagai berikut: Fakta bahwa harga ditentukan oleh biaya rata-rata karyawan per unit output menggambarkan bahwa P selalu sebanding dengan WL/Q, dimana P adalah tingkat harga, W adalah tingkat upah, L adalah jam kerja, dan Q adalah output. Lebih lanjut diasumsikan bahwa produktivitas rata-rata karyawan (Q/L) naik dengan lancar pada angka 1% pertahun. Oleh sebab itu jika upah naik 4% pertahun, harga akan naik 3% pertahun.
(Tingkat inflasi) = (Tingkat pertumbuhan upah) – (tingat pertumbuhan produktivitas).
Kasus yang dikuasai oleh pembelanjaan konsumsi lebih besar dalam kaitan dengan gaji/upah riil yang lebih tinggi dan menurunkan share laba disebut wage-led, sedangkan kasus yang dikuasai oleh lebih besar pembelanjaan investasi dalam kaitan dengan share laba lebih tinggi dan menurunkan upah nyata disebut sebagai profit-led. (Amit Bhadury, 2007).
Produktivitas
Menurut Paul Mali, Produktivitas adalah pengukuran seberapa baik sumber daya yang digunakan bersama didalam organisasi untuk menyelesaikan suatu kumpulan hasil-hasil. Menurut ILO produktivitas adalah Perbandingan antara elemen-elemen produksi dengan yang dihasilkan merupakan ukuran produktivitas. Elemen - elemen produksi tersebut berupa : tanah, kapital, buruh, dan organisasi. Sedangkan oleh Dewan Produktifitas Nasional (DPN) didefinisikan secara filosofis sebagai sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Pada dasarnya produktivitas harus dapat memenuhi unsur efektifitas, efisien dan kualitas.
Pengukuran Produktivitas secara teknis pada dasarnya adalah hasil dari Input (I) dibagi Output (O). Semakin besar input dan semakin kecil output maka produktivitasnya semakin besar. Produktivitas juga dapat digambarkan sebagai
berikut :
· Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) tetap
· Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) naik
· Produktivitas (P) naik apabila Input (I) tetap, Output (O) naik
· Produktivitas (P) naik apabila Input (I) naik, Output (O) naik tetapi jumlah
kenaikan Output lebih besar daripada kenaikan Input.
· Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) turun tetapi jumlah
penurunan Input lebih kecil daripada turunnya Output.
Untuk pengukuran produktivitas di tingkat perusahaan dapat digunakan penghitungan Produktivitas Total Faktor perusahaan yang dihasilkan dari penghitungan Nilai Tambah, labour share dan capital share. Produktivitas Total faktor ini adalah hasil dari Produktivitas dari semua variabel yang mendukung berjalannya suatu usaha. Berdasarkan pengalaman Malaysia dalam mengkaji Produktivitas Total Faktor didapat 4 komponen pendukung yaitu : Quality of labour, Capital structure, Demand Intensity dan Technical Progres. Dari kajian tersebut tercermin bahwa Produktivitas total faktor dihasilkan dari labour dan juga capital.
Didalam peningkatan produktivitas sendiri terdapat faktor-faktor yang sangat berpengaruh pada peningkatannya baik itu di tingkat makro, mikro maupun bagi tiap individu. Di tingkat makro, stabilitas politik dan keamanan, kondisi Sumber daya (SDM, alam dan Energi), pelaksanaan pemerintah, kondisi infrastruktur berupa transportasi dan komunikasi dan yang tidak kalah penting adalah perobahan struktural dalam bidang sosial dan budaya. Di tingkat mikro, faktor internal meliputi sumber daya manusia, teknologi, manajemen, demand intensity dan struktur modal. Selain faktor faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang dapat mempengaruhi meliputi produktivitas di tingkat mikro level diantaranya kebijaksaan pemerintah, kondisi politik, sosial, ekonomi dan hankam serta tersedianya sumber daya alam. Di tingkat individu faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah sikap mental (budaya produktif), pendidikan, ketrampilan, kompetensi dan apresiasi terhadap kinerja.
Apa keuntungan dari peningkatan produktivitas? Keuntungan peningkatan produktivitas di tingkat nasional (Makro) dengan peningkatan produktivitas maka kemampuan bersaing meningkat khususnya dalam perdagangan internasional yang menambah pendapatan negara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan standar hidup dan martabat bangsa, memperkokoh eksistensi dan potensi bangsa yang berarti memantapkan ketahanan nasional, sebagai alat untuk membantu merumuskan kebijaksanaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dan tumbuhnya dunia usaha yang membawa pengaruh bertambahnya lapangan kerja.
Di tingkat perusahaan (mikro) maka dengan peningkatan produktivitas akan memperkuat daya saing perusahaan karena dapat memproduksi dengan biaya yang lebih rendah dan mutu produksi lebih baik, menunjang kelestarian dan perkembangan perusahaan, menunjang terwujudnya hubungan industrial yang lebih baik dan mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja. Di tingkat individu akan meningkatkan pendapatan, meningkatkan harkat dan martabat serta pengakuan potensi individu serta meningkatkan motivasi kerja dan keinginan berprestasi. Secara umum dapat diringkas sebagai berikut :
- Keuntungan atau laba bagi para pemegang saham dan para investor.
- Pekerjaan dan upah bagi para pekerja.
- Barang-barang dan jasa-jasa yang berkualitas untuk para konsumen.
- Pajak dan pendapatan-pendapatan lain untuk Pemerintah Daerah dan Negara
Pengupahan
Di dalam dunia usaha, pengupahan merupakan hal yang sewajarnya sebagai bentuk kompensasi atas kontribusi yang diberikan pekerja atau buruh kepada perusahaan. Jadi ketika perusahaan merekrut pekerja atau buruh yang diharapkan adalah pekerja/buruh dapat menjalankan serangkaian pekerjaanya untuk menghasilkan barang atau jasa yang mendukung kegiatan usaha sehingga menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan yang didapat tersebut salah satunya digunakan perusahaan untuk memberikan kompensasi berupa upah kepada pekerja/buruh. Jadi keberadaan pekerja/buruh dalam suatu perusahaan adalah dalam kerangka bisnis kemitraan dan bukan kerangka kegiatan sosial. Hal tersebut seiring dengan defini upah pada uu no 13 tahun 2003 pada pasal 1 ayat 30 tentang ketenaga kerjaan yang berbunyi :
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Kontribusi pekerja kepada perusahaan dengan menjalankan pekerjaannya kemudian dapat disebut sebagai kinerja atau juga dapat disebut sebagai produktivitas. Semakin baik kinerja dan produktivitasnya maka sudah selayaknya pekerja / buruh mendapat upah yang lebih baik dibanding pekerja/buruh yang rendah kinerja dan produktivitasnya. Hal ini juga sesuai dengan UU No. 13 pasal 92 ayat (2) yang isinya,
“Pengusaha melakukan meninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas”.
Dalam peraturan ketenaga kerjaan, kita juga mengenal Upah Minimum yang diatur Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-01/MEN/ 1999. Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa
“Upah Minimum adalah Upah Bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok
termasuk tunjangan tetap”.
Makna dari Upah minimum ini adalah sebagai jaring pengaman terhadap pekerja/buruh supaya tidak diekspolitasi dalam bekerja dan mendapat upah yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Upah minimum juga hanya diberlakukan untuk pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari 1 tahun.
Terkait dengan upah dan KHM ada baiknya kita perhatikan pula dari sisi perusahaan yaitu seberapa mampu perusahaan untuk membayar upah tenaga kerja tanpa menghambat kegiatan usaha. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan usaha tetap terus berjalan dan kepentingan pekerja dalam job security, income security dan social security tetap terjaga. Hal ini penting bila kita mengingat keadaan rata-rata UKM di Indonesia dimana kemampuannya rata-rata pada saat ini sangat terbatas. Belum lagi tantangan kedepan UKM harus siap bersaing dengan investor asing yang lebih memiliki kemampuan modal yang lebih baik mengingat perdagangan bebas akan berlaku di Indonesia.
Dalam praktek dilapangan upah minimal kemudian dijadikan standar bagi kenaikan upah keseluruhan bagi suatu perusahaan dalam regio tertentu karena upah minimum dijadikan standar bagi setiap perusahaan sebagai upah terendah. Karena nilai upah terendah naik maka akan mendorong upah pada struktur diatasnya akan naik. Fenomena ini yang kemudian lebih dikenal dengan upah sundulan. Penentuan upah ini kemudian dirasakan tidak adil bagi pekerja bila ternyata kenaikan upah minimal ternyata lebih kecil dari naiknya pendapatan perusahaan yang dihasilkan dari produktifitas pekerja. Atau juga tidak adil bagi perusahaan bila kenaikan Upah Minimum lebih besar dari pendapatan perusahaan yang didapat dari produktivitas pekerja.
Di perusahaan review upah dilaksanakan sesuai dengan kinerja pekerja dan juga kemampuan perusahaan untuk membayar. Untuk skema dan struktur upah akan disesuaikan dengan bentuk organisasi dari perusahaan itu sendiri karena memang setiap perusahaan mempunyai karakteristik masing-masing. Jadi kenaikan upah yang diberikan pada masing-masing pekerja akan berbeda-beda sesuai dengan kompetensi, kontribusi, jabatan, masa kerja dan lain sebagainya.
Kaitan Produktivitas dan Pengupahan
Produktivitas dan pengupahan sangat erat sekali hubungannya. Ketika pekerja bekerja secara produktif sehingga memberikan kontribusi besar pada perusahaan dan menghasilkan keuntungan yang besar bagi perusahaan maka sudah selayaknya perusahaan memberikan penghargaan. Namun akan berlaku sebaliknya, jika pekerja tidak bekerja produktif sehingga kontribusinya rendah terhadap perusahaan maka sudah selayaknya pula kalau penghargaan yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja juga rendah.
Selama ini kita sudah mengenal Produktivitas Total Faktor (PTF) untuk tingkat perusahaan. Adjustment pada pengupahan ini dapat dihubungkan dengan pertumbuhan dari PTF. Penghitungan pertumbuhan dari PTF didapat dari pertumbuhan nilai tambah dan modal serta tenaga kerja. Dari PTF ini kemudian baru dapat dipecah berapa pertumbuhan dari real labour productivity dan real capital productivity. Perubahan dari real labour productivity inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk perencanaan penghitungan labour cost dimana wage adjustment didalamnya.
Dari labour cost ini baru kemudian diturunkan kembali berapa besar untuk fix wage, variable wage, training dan lain-lain sesuai dengan struktur dan skala upahnya dan keadaan pada perusahaan tersebut. Setiap orang tenaga kerja bisa jadi tidak sama dalam menerima perubahan upah karena juga dilihat dari kinerja masing-masing dari setiap orang (absensi, kedisiplinan, kepatuhan, kompetensi dan lain-lain). Dan setiap perusahaan akan berbeda-beda pula struktur dan skema upahnya karena disesuaikan dengan struktur organisasi, budaya perusahaan, keadaan perusahaan yang masing-masing mempunyai karakteristik masing.
Dengan konsep tersebut maka wage adjustment benar-benar didasarkan pada produktivitas. Bila memang Pendapatan perusahaan besar dan real labour productivity besar maka wage adjustment dapat dihasilkan secara signifikan. Diharapkan dengan konsep ini wage adjustment dapat adil bagi pekerja dan pemberi kerja, sutainability perusahaan terjaga, mendorong pekerja untuk lebih produktif dan pemberi kerja dapat mengembangkan usahanya yang berarti terserapnya tenaga kerja dan memperbesar pendapatan daerah.
Untuk upah minimum ada baiknya kenaikannya tidak hanya didasarkan pada kenaikan inflasi terkait komponen hidup minimum, namun juga berdasarkan data produktivitas tenaga kerja nasional. Hal ini dimaksudkan agar kenaikan upah minimum juga berbanding lurus dengan kenaikan produktivitas tenaga kerja. Adapun peninjauan upah minimum ditinjau minimal 2 tahun sekali dan dilaksanakan oleh lembaga independen sehingga bukan berdasarkan hasil dari negosiasi.
Akhir dari pembahasan Upah dan Produktivitas adalah bagaimana pengupahan diletakaan dalam kerangka kegiatan usaha yang berkeadilan baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha. Pengupahan yang menjamin keberlangsungan usaha dengan memperhatikan company ability to pay dan juga menjaga kepentingan pekerja supaya job security, income security dan social security tetap terjaga. Pengupahan dikaitkan dengan produktifitas juga berarti upah yang mencerminkan produktivitas dan upah yang dapat mendorong produktivitas. Disini tenaga kerja diletakkan sebagai modal dan bukan biaya untuk mendorong berkembangnya kegiatan usaha.
Maka sudah saatnya produktivitas sebagai faktor pendorong bagi semua pihak baik dari pekerja maupun pemberi kerja untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik ke depan. Upah yang ditentukan oleh data real dari produktivitas dan bukan semata-mata bukan kemampuan bernegosiasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Pengupahan dikaitkan dengan produktivitas menuju pengupahan yang berkeadilan.
Hubungan Produktivitas, Upah dan Inflasi
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang berkaitan dengan dampaknya terhadap makro ekonomi agregat; pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan bahkan distribusi pendapatan. Inflasi juga sangat barperan dalam mempengaruhi mobilisasi dana lewat lembaga keuangan formal. Tingkat harga merupakan opportunity cost bagi masyarakat dalam memegang aset finansial. Semakin tinggi perubahan tingkat harga maka makin tinggi pula opportunity cost untuk memegang aset finansial. Artinya masyarakat akan merasa lebih beruntung jika memegang aset dalam bentuk rill dibandingkan aset finansial jika tngkat harga tetap tinggi. Jika aset finansial luar negeri dimasukkan sebagai salah satu pilihan aset, maka perbedaan tingkat inflasi dalam negeri dan internasional dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi overvalued dan pada gilirannya akan menghilangkan daya saing komoditas Indonesia.
Krisis moneter 1997/1998 telah menuntut perubahan tatanan kelembagaan bangsa Indonesia menjadi Bank sentral yang independen. Perubahan ini didasari pada munculnya pendapat kuat yang mengatakan bahwa salah satu penyebab krisis adalah ketidak mampuan bank Indonesia bertindak objektif karena selama periode praktis kebijakan Bank Indonesia selalu dianggap terkait dengan kepentingan politik pemerintah. Perubahan tatanan ini diwujutkan pada penggantian Undang-undang No. 13 Tahun 1968 dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Dengan disahkannya Undang-Undang No.23 Tahun 1999, kebijakan moneter memasuki suatu era baru dalam sejarah moneter di Indonesia. Bank Indonesia selain menjadi lembaga independen juga mempunyai peran tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dengan sistem nilai tukar mengambang, secara implisit tujuan kebijakan moneter di Indonesia adalah menjaga kestabilan harga, dalam perkataan lain Bank Indonesia mempunyai sasaran tunggal yaitu Inflasi.
Kondisi Inflasi di Indonesia sangat berfluktuasi pada sepuluh tahun terakhir, dimana kondisi ini secara teoritis dipengaruhi oleh berbagai variabel dan indikator makro ekonomi maupun yang bukan makro ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain faktor utama inflasi yaitu tingkat harga, inflasi juga sangat dipengaruhi oleh faktor produktivitas dan besaran upah yang diterima pekerja. Setelah kita mengetahui bersama hubungan antara porduktivitas dengan upah, maka dalam kaitannya dengan inflasi maka produktivitas yang tercermin dari tingkat profitabilitas yang diperoleh perusahaan maupun secara agregat, akan turut mempengaruhi konsumsi perusahaan yang akan berpengaruh langsung terhadap jumlah uang beredar dan juga inflasi. Demikian halnya dengan besaran upah yang diperoleh pekerja, juga akan menentukan atau berpengaruh terhadap tingkat konsumsi dan saving dari pekerja tersebut.
Semakin besar produktivitas maka akan mendorong kenaikan upah dan insentif yang diterima pekerja, dan selanjutnya akan berpengaruh kepada tingkat besaran konsumsi dan saving pekerja tersebut, yang pada akhirnya juga akan sangat mempengaruhi inflasi. Dalam kenyataan yang ada belakangan ini di Indonesia, dapt kita lihat dan rasakan bahwa kenaikan upah dan gaji pekerja dan pegawai akan diikuti dengan multiplier efek yang akan mendorong dari naiknya harga-harga barang konsumsi serta jasa yang ada dipasar, yang selanjutnya akan berpengaruh langsung pada naiknya tingkat inflasi yang cukup besar, sehingga dapat kita lihat bahwa target inflasi yang ditargetkan Bank Indonesia sebesar sebesar 3-4% akan sangat sulit dicapai, yang diperparah lagi dengan kenaikan harga BBM yang mempunyai efek multiplier yang sangat luas.
Dengan mencermati kondisi dan gejolak sekarang ini, maka selain faktor harga, maka besaran upah cukup berpengaruh terhadap laju tingkat inflasi dan tidak bisa dipungkiri lagi, pemerintah melalui Bank Indonesia sebagai penguasa otoritas moneter harus dapat menerapkan atau menjalankan kekuasaannya dalam kebijakan moneter, salah satunya dengan memperhatikan suku bunga Bank Indonesia yang berlaku, yang tentunya akan mempengaruhi suku bunga pinjaman maupun suku bunga tabungan, sehingga peningkatan produktivitas yang berdampak pada peningkatan profitabilitas perusahaan dapat tersalurkan dengan baik, dan juga besaran tingkat upah pekerja tidak semuanya dipakai untuk konsumsi, tetapi juga dapat disaving dalam bentuk tabungan atau deposito, yang pada akhirnya akan mengurangi uang yang beredar dan mungkin bisa berpengaruh bagi penekanan laju Inflasi.
KESIMPULAN
- Harga bukanlah factor penentu utama Inflasi, melainkan Upah dan produktivitas juga mempunyai andil yang besar dalam mempengaruhi Inflasi.
- Produktivitas sangat dipengaruhi tingkat upah yang diperoleh buruh atau pekerja, dan sebaliknya.
- Disamping produktivitas, penentuan besaran upah dipengaruhi oleh faktor-faktor makroekonomi lainnya, seperti tingkat harga, kebijakan pemerintah, GDP dan lainnya.
- Pertumbungan produktivitas yang diikuti dengan meningkatnya profitabilitas perusahaan akan memberikan ruang bagi perusahaan untuk menambah konsumsi faktor produksi untuk meluaskan usaha atau juga bisa menambah uang perusahaan di Bank.
- Besaran upah akan mendorong orang dalam hal ini pekerja untuk menentukan besaran yang dikonsumsi dan yang akan ditabung.
- Tingkat bunga pinjaman dan tabungan akan mempengaruhi minat dan keinginan organisasi atau perusahaan dan pekerja untuk berinvestasi dan meningkatkan tabungannya.
- Bank Indonesia sebagai penguasa otoritas moneter Indonesia harus bisa menerapkan kebijakan moneter yang dapat menahan laju Inflasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lipsey, Courant, Purvis, Steiner, Pengantar Makroekonomi, Jilid satu, Edisi Kesepuluh, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
2. Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Teori Pengantar, Edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
3. Samuelson Nordhaus, Ilmu MakroEkonomi, PT Media Global Edukasi, Jakarta, 2004.
4. Amit Bhaduri. On the Dynamics of Profit- and Wage-led Growth. wiiw Working Papers | 42. 2007
5. Robert C. Feenstra. Globalization and Its Impact on Labour. wiiw Working Papers | 44. 2007
6. Kazimierz Laski. Do Increased Private Saving Rates Spur Economic Growth? wiiw Working Papers | 44. 2007